KHUTBAH JUM'AT
‘BERLARI’ SECEPAT MUHAMMAD :
Menembus Batas Langit Perjalanan
Isra Mi’raj
KHutbah Jum’at, 8 April 2016, di Masjid Al
Istiqomah Lohbener
الحمد لله
الذى اﺳﺮﻯ ﺑﻌﺒﺪﻩ ﻟﻴﻼ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺴﺠﺪﺍﻟﺤﺮﺍﻡ ﺍﻟﻰﺍﻟﻤﺴﺠﺪﺍﻻﻗﺼﻰ. ﻭﺍﻋﺮﺟﻪ ﺍﻟﻰﺍﻟﺴﻤﻮﺍﺕﺍﻟﻌﻼ.ﺛﻢ
ﺍﻭﺟﺐ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﻋﻠﻰﺍﻣﺘﻪﺍﻟﺼﻠﻮﺍﺕ ﻭﻟﺼﻼﺓ ﺍﻟﻮﺳﻂﻰ. اشهد ان لا اله الا الله وحده لاشريك له
ﺷﻬﺎﺩﺓ ﻋﺒﺪﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻣﻌﺎﻧﺪﺍ ﻭﻻﻋﺼﻰ. و اشهد ان ﺳﻴﺪﻧﺎﻭﻧﺒﻴﻨﺎ محمدا عبده و رسوله و حبيبه
و خليله ﻧﺒﻲﺟﺎﺀﻧﺎ ﺑﺎﻟﺒﻴﻨﺎﺕ ﻭﺍﻟﻬﺪﻯ. اَللًّهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ وَ بَارِكْ عَلَى
عَبْدِكَ وَ رَسُوْلِكَ مُحَمَّدٍ وَ عَلَى اَلِهِ وَ اَصْحَابِهِ ﺻﻼﺓ ﻭﺳﻼﻣﴼ
ﺩﺍﺋﻤﻴﻦﻣﺘﻼﺯﻣﻴﻦﺍﺑﺪﴽ.ﻭﺳﻠﻢﺗﺴﻠﻴﻤﴼﻛﺜﻴﺮﴽ.
امابعد، فَيَا اَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ
رَحِمَكُمُ الله ! اُوْصِيْكُمْ وَ اِيَّايَ بِتَقْوَى الله فَقَدْ فَازَ
الْمُتَّقُوْنَ، اتقوا الله تعالى رب العالمين و سارعوا الى مغفرة الله الكريم.
Hadirin sidang jum’at RK:
Al Hamdulillah kita bersyukur kepada Allah
swt, yang
Masih memberikan kesempatan kepada kita,
untuk bersama-sama hadir di Masjid yang kita cintai ini, mudah mudahan kehadiran
kita di sini dapat meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah swt.
Sholawat serta salam, semoga senantiasa
tercurahkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad saw. Para keluarganya,
para sahabatnya, dan kita semua sebagai pengikutnya. Amin ya robbal alamin.
Hadirin Jamaah Jum’at RK :
Tidak terasa, besok 9 April 2016, kita sudah memasuki Bulan Rojab, bulan yang amat istimewa, karena di dalamnya terdapat peristiwa yang amat dahsyat, yaitu Isro' Mi'raj. Nabi besar Muhammad saw.
Tidak terasa, besok 9 April 2016, kita sudah memasuki Bulan Rojab, bulan yang amat istimewa, karena di dalamnya terdapat peristiwa yang amat dahsyat, yaitu Isro' Mi'raj. Nabi besar Muhammad saw.
Ilmuwan terkemuka Sinka mengatakan: siapa
pun yang melayangkan pendangannya ke arah langit pasti akan memejamkan kedua
matanya dengan penuh kekaguman dan katakjuban. Sebab ia melihat jutaan bintang
yang bersinar terang, mengamati pergerakannya di garis orbitnya, dan beralih
memandangi rasi-rasinya. Masing-masing bintang, planet, nebul, dan satelit
adalah dunia yang berdiri sendiri, dan jauh lebih besar daripada bumi beserta
segala yang ada diantaranya dan yang melingkupinya (Ahmad, 2006:42).
Bayangkan, jika kita sedang menengadah ke
langit di malam hari, kita melihat sinar bulan yang begitu indah. Sinar bulan
yang kita lihat itu membutuhkan waktu untuk menempuh jarak dari bulan ke bumi
sekira 350.000 kilometer. Karena kecepatan cahaya sekitar 300.000 meter per
detik, maka cahaya bulan itu membutuhkan waktu lebih dari satu detik untuk
sampai ke bumi. Artinya, ketika kita melihat bulan, sebenarnya bulan yang kita
lihat itu bukanlah bulan pada saat yang sama. Sebab, bulan membutuhkan waktu
selama satu detik untuk mencapai bumi. Paling tidak, bulan yang kita lihat saat
ini adalah bulan satu detik yang lalu.
Hal itu juga terjadi ketika kita melihat matahari.
Karena jarak Matahari ke Bumi yang demikian jauhnya sekitar 150 juta kilometer,
maka kecepatan cahaya membutuhkan waktu 8 menit untuk sampai ke bumi. Artinya,
jika waktu itu kita melihat matahari, maka matahari yang kita lihat itu
sebenarnya bukalah matahari pada saat itu, melainkan matahari 8 menit yang lalu
(Mustofa, 2006:71).
Kenaehan dan keterkaguman kita akan
semakin bertambah, manakala kita menyaksikan benda-benda langit yang lain,
bintang umpamanya. Malah ada bintang yang berjarak sangat jauh dari bumi hingga
memakan waktu 8 tahun cahaya dari bumi. Maka jika kita melihat bintang itu,
sebenarnya kita sedang menyaksikan bintang yang usianya 8 tahun lalu.
Mengagumkan.
Bahkan, dalam abad kekinian, sering juga
kita dengar istilah satelit atau sputnik, yaitu kendaraan ruang angkasa yang
diluncurkan menuju bulan dan planetnya di dalam kelompok matahari. Persitiwa
satelit atau sputnik itu merupakan hasil kecerdasan otak manusia sekaligus
merupakan alat terpenting dalam mencapai kemajuan lahir ke arah pengetahuan dan
teknologi.
Lalu, pada abad ke-7 atau sekitar 1400
tahun silam, kita juga mendengar suatu peristiwa maha hebat dari tanah Arab.
Persitiwa itu jauh lebih mengagumkan dari satelit ataupun sputik dan
benda-benda langit lainnya. Peristiwa itu dinamakan Isra Mi’raj Nabi Muhammad
saw. Muhammad tidak saja menembus ruang angkasa di sekitar bulan, bahkan sudah
meluncur ke ufuk yang tertinggi , melalui sistem planet, menerobos ruang langit
yang luas, berlanjut terus ke gugusan Bintang Bima Sakti, meningkat kemudian
mengarungi Semesta Alam hingga sampai di ruang yang dibatasi oleh ruang yang
tak terbatas. Kemudian sampailah Rasulullah Muhammad saw pada Ruang yang Mutlak
yang dinamakan “Maha Ruang”. Inilah yang disebut dalam Al Qur’an : “Dan dia
Muhammad di ufuk yang tertinggi” (Mudhary, 1996:21).
Peristiwa luar biasa ini kontan membuat
kontroversi di masyarakat. Ada masyarakat yang mencemooh; kebanyakan dari
mereka orang kafir. Mereka menggemboskan isu bahwa Muhammad telah gila.
Kelompok kedua adalah mereka yang ragu-ragu. Mereka terbawa oleh suasana
kontradiksi, mau percaya kok rasanya berita itu tidak masuk akal.
Tapi ngga percaya, kan
Muhammad tidak pernah berbohong. Kelompok ketiga adalah mereka yang begitu
yakin akan ke-Rasulan Muhammad. Perjalanan yang kontroversial ini pun bagi
mereka justru meningkatkan kayakinannya bahwa beliau benar-benar utusan Allah.
Hadirin sidang Jum’at RK :
Lantas bagaimana dengan kita? Termasuk
golongan yang mana: tidak yakin, ragu-ragu, atau sangat yakin? Alternatif dari
jawaban itu adalah bahwa kita harus yakin dengan di-Isra-kan dan di-Mi’raj-kannya
Muhammad, sekaligus meyakinkan kaum peragu bahwa peristiwa ini pun masuk akal,
logis, dan rasional. Sebab, bisa dibuktikan secara empiris dalam ilmu
pengetahuan modern
Bukankah manusia adalah salah satu magnum opus-nya Tuhan dengan
keistimewaan akalnya. Bukankah telah disinyalir Tuhan bahwa manusia memiliki
kemampuan untuk menjelajah seantero jagat raya dengan kekuasannya (QS.Ar Rahman:33).
Bahkan, Al Khazin, Al Baidlawi, dan An Nasai (Mudhary, 1996:21), memberi
tafsiran bahwa arah kata sulthan atau
kekuasanannya ialah ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh kecerdasan otak lahir
dan ilmu pengetahuan yang dihasilkan otak batin. Otak lahir disebut juga indera
badani atau jasmani, sedangkan otak batin disebut indra rohani. Keduanya
dikenal dengan sensus interior dan eksterior.
Hubungan antara tanda-tanda kebenaran di
dalam al Quran dan alam raya dipadukan melalui mukjizat Al Quran dengan
mukjizat alam raya yang menggambarkan kekuasaan Tuhan. Masing-masing mengakui
dan membenarkan keduanya menjadi pelajaran bagi setiap orang yang mau
mendengar. Bahkan Abbas Mahmud Aqqad (dikutip Pasya, 2004:24), memberi
penjelasan makna mukjizat ilmiah dalam al Quran dan Hadits secara lebih
mendalam yakni terdapat dua macam mukjizat yang harus dibedakan: mukjizat yang
harus dicari, dan mukjizat yang memang tidak perlu dicarai.
Sayangnya pembedaan antara kedua macam
mukjizat tersebut hampir tidak kita temukan pada mereka yang pemikirannya hanya
berhenti pada batas penafsiran ilmiah terhadap fenomena alam. Tidak adanya
pembedaan tersebut kadang menyebabkan pencampuradukkan anatra mukjizat ilmiah
(yang berarti bahwa Al Quran dan Hadits telah terlebih dahulu memberitahukan
kita tentang fakta atau fenomena alam sebelum ditemukan oleh ilmu empiris) dan
penafsiran Al Quran secara ilmiah (yang berarti mengungkap makna-makan baru
ayat Quran atau Hadits sesuai kebenaran teori sains). Dengan kata lain, sains
menjadi perangkat untuk menafsirkan Al Quran dan Hadits, seperti halnya ilmu
bahasa dan asal usul fikih yang juga menjadi perangkat untuk menafsirkan
ayat-ayat Al Quran di bidang ilmu keagamaan.
Hadirin jamaah Jum’at RK :
Dengan demikian, perjalanan Isra Mi’raj
yang menjadi fenomena mukjizat Allah tersebut mampu dikaji secara ilmiah.
Pembuktian-pembuktian sains modern telah menampakan sebuah paradigma bahwa
perjalanan Muhammad menjumpai Tuhannya dengan menembus batas-batas langit
adalah benar. Sebab, perjalanan itu bisa ditafsir ulang dengan sains kekinian,
dan dibuktikan secara ilmiah.
Skenario Isra Mi’raj dan Tafsir Fisik
Dalam ayat in, Allah sudah menjelaskan
skenario perjalanan Isra Mi’raj Nabi Muhammad. Sehingga dengan berpatokan pada
ayat ini, kita bisa memperoleh pemahaman yang sangat memadai tentang mukjizat
Isra dan Mi’raj tersebut.
Dalam tinjauan Agus Mustofa (2006:11),
setidaknya ada delapan kata kunci yang menjadi catatan penting dan menuntut
pemahaman kita menembus batas-batas langit untuk menafsirkan perjalanan kontroversial
ini. Apabila kita mencoba untuk menguraikan makna kata-kata tersebut, maka akan
menjadi seperti ini:
Catatan pertama, terdapat pada kata Subhanallah, Maha Suci Allah.
Hal ini mengisyaratkan bahwa persitiwa ini sangat luar biasa. Saking spesialnya
kejadian ini, Allah sendiri memuji diri-Nya dengan ucapan Subhanallah.
Barangkali inilah salah satu bukti bahwa Allah adalah Maha dari segala Maha.
Maha tanpa batasan ruang, waktu, bahkan massa. Sehingga lanjut Quraish Shihab
(1992:338), peristiwa ini membuktikan bahwa ‘ilm
dan qudrat Tuhan meliputi dan menjangkau, bahkan
mengatasi segala yang finite(terbatas)
dan infinite (tak terbatas) tanpa terbatas ruang
dan waktu.
Catatan kedua, adalah dalam kata asraa, yang telah
memperjalankan. Ini berarti bahwa perjalanan Isra Mi’raj bukan atas kehendak
Rasulullah, melainkan kehendak Allah. Dengan kata lain, kita juga memperoleh
‘bocoran’ bahwa Rasul tidak akan sanggup melakukan perjalanan itu atas
kehendaknya sendiri. Saking dahsyatnya perjalanan ini, jangankan manusia biasa,
Rasul sekali pun tidak akan bisa tanpa diperjalankan oleh Allah.
Oleh karena itu lanjut Agus (2006:15),
Allah lantas mengutus malaikat Jibril untuk membawa Nabi melanglang ‘ruang’ dan
‘waktu’ didalam alam semesta ciptaan Allah. Mengapa Jibril? Sebab Jibril
merupakan makhluk dari langit ke tujuh yang berbadan cahaya. Dengan badan
cahayanya itu, Jibril bisa membawa Rasulullah melintasi dimensi-dimensi yang tak
kasat mata.
Pembuktian menurut ilmu Fisika lanjut
Mudhary (1996;28), bahwa eter menjadi zat pembawa sekaligus pelantara daya
elektromagnetik. Eter adalah udara yang ringan sekali, lebih ringan dari udara
yang dihirup oleh manusia: O2. Dalam bahasa Arab disebut dengan “Itsir”. Jika
eter bergetar, niscaya membutuhkan pula zat pembawa yang lebih halus lagi dari
eter itu sendiri, agar getaran eter itu bisa tersebar ke mana-mana.
Sedangkan menurut Ilmu Metafisika, Rasul
naik ke ruang angkasa melakukan perjalanan Mi’rajnya tentu membutuhkan zat
pembawa yang lebih halus dari jiwa atau rohaninya. Oleh karena itu, makhluk
hidup yang memiliki dua jasad: jasmani dan rohani, maka diperlukan zat pembawa
yang lebih halus dari rohani itu sendiri dan mampu mengangkat jasmani Rasul
sekaligus. Dan ternyata makhluk yang sangat halus itu bernama Jibril.
Hadirin Rohimakumulloh :
Selain Jibril, perjalanan super istimewa
itu disertai juga oleh kendaraan spesial yang didesain Allah dengan sangat
spesial bernama Buraq. Ia adalah makhluk berbadan cahaya yang berasal dari alam
malakut yang dijadikan tunggangan selama perjalanan tersebut. Buraq berasal
dari kata Barqun yang berarti kilat. Maka, ketika
menunggang Buraq itu mereka bertiga melesat dengan melebihi kecepatan cahaya
sekitar 300.000 kilometer per detik (Mustofa, 2006:15).
Jika seandainya kecepatan Buraq diambil
serendah-rendahnya setara dengan perbandingan kecepatan elektris saja: 300.000
kilometer per detik, maka jarak anatara Masjidil Haram di Mekkah dengan
Masjidil Aqsha di Palestina yang berjarak 1.500 kilometer, paling tidak memakan
waktu 1/200 detik. Padahal, Buraq adalah makhluk hidup yang kecepatannya pun
bisa melebihi kecepatan elektris tadi.
Pertanyaannya kemudian, bukankah kecepatan
cahaya adalah kecepatan paling tinggi yang telah dihasilkan Fisika Modern?
Bukankah kecepatan cahaya telah mendapat legalitas berdasarkan keputusan
kongres Internasional tentang Standar Ukuran yang digelar di Paris tahun 1983:
bahwa kecepatan cahaya berada dalam vakum sebesar 299.792.458 meter per detik
dibulatkan sekira 300.000 kilometer per detik. Dan tentu saja, kecepatan cahaya
berlaku sama bagi seluruh gelombang spektrum dan mempersentasikan batas
kecepatan dalam alam fisika (Ahmad, 2006:168).
Tentu saja kecepatan setinggi itu tidak bisa
dilakukan oleh sembarang benda. Hanya sesuatu yang sangat ringan saja yang bisa
memiliki kecepatan yang bisa melebihi kecepatan cahaya. Bahkan, saking
ringannya, maka sesuatu itu harus tidak memiliki massa sama sekali. Yang bisa
melakukan kecepatan itu hanya photon saja, yaitu kuantum-kuantum penyusun
cahaya. Bahkan, electron sekali pun yang bobotnya hampir nol sekalipun tidak
bisa memiliki kecepatan setinggi itu.
Sedangkan manusia sendiri terkonstruksi
dari satuan-satuan utama yang sangat kecil dinamakan sel. Jumlahnya sekitar 390
milyar. Sel tubuh ini tidak sama, baik bentuk, besar, maupun fungsinya. Sel-sel
ini tidak terpisah satu sama lain, tetapi hidup dalam organisasi yang harmonis
(Pasya, 2004:250).
Jika dilihat dari penyusunnya, maka
berbagai macam sel itu tersusun dari molekul-molekul. Baik yang sederhana
maupun molekul yang kompleks. Mulai dari H2O, sampai pada molekul asam amino
atau proteir kompleks lainnya. Dan jika dicermati, maka molekul itu juga
tersusun dari bagian-bagian yang lebih kecil disebut atom. Dan atom ini pun
tersusun dari partikel-partikel sub atomik seperti: proton, neutron, elektron, dan sebagainya.
Karena manusia memiliki bobot, jangankan
untuk dipercepat dengan kecepatan setingkat kecepatan cahaya. Dengan percepatan
beberapa kali gravitasi bumi (G) saja, sudah akan mengalami kendala serius,
bahkan bisa meninggal dunia.
Dalam ilustrasinya, Agus Mustofa (2006:17)
memberi gambaran tentang seorang pilot yang melakukan manuver di angkasa.
Ketika ia melakukan gerakan vertikal naik ke langit atau manuver ‘jatuh’ ke
bumi misalnya, saat itu badannya akan mengalami tekanan alias beban yang sangat
berat bergantung pada besarnya percepatan yang ia lakukan.
Jika pilot bermanuver ke langit dengan
percepatan dua kali gravitasi bumi (2G), maka badannya akan mengalami tekanan
dua kali lipat dari biasanya. Jika bobot pilot dalam kondisi normal 80 kg
misalnya, maka pada saat melakukan manuver bobotnya akan menjadi 160 kg. Bahkan
jika percepatannya lebih tinggi lagi, rasa ‘nyuut’ di otak akan semakin besar. Seperti
orang yang jatuh bebas ke dalam sebuah sumur yang dalam. Bisa-bisa seseorang
akan mengalami ‘hilang kesadaran’. Apalagi manuver pilot dengan kecepatan 5G,
pilot yang tidak terlatih bisa-bisa mengalami balck
out alias semaput atau
pingsan di angkasa.
Jika demikian, bukankah Muhammad juga
seorang manusia biasa yang memiliki struktur sama dengan pilot dalam ilustrasi
tadi ketika ia melakukan perjalanan Isra Mi’raj tersebut? Lalu bagaimana
jasmani Muhammad mampu menembus lapisan langit dengan bantuan kecepatan cahaya
? Apakah Muhammad di-Isra-kan dan di-Mi’raj-kan dengan jasmani dan rohaninya
sekaligus? Nah.
Salah satu ‘skenario rekonstruksi’ untuk
mengatasi problem ini adalah teori Annihilasi. Teori ini mengatakan bahwa
setiap materi (zat) memiliki anti materi. Dan jika materi dipertemukan atau
direaksikan dengan anti materinya, maka kedua partikel tersebut bakal lenyap
berubah menjadi seberkas cahaya atau sinar gama (Mustofa, 2006:20).
Hal ini telah dibuktikan di laboratorium
nuklir masih dalam buku yang sama (2006:20), bahwa jika ada partikel proton
dipertemukan dengan antiproton, atau elektron dengan positron sebagai
antielektronnya, maka kedua pasangan partikel tersebut akan lenyap dan
memunculkan dua buah sinar gama, dengan energi masing-masing 0,11 MeV untuk
pasangan elektron dan 938 MeVuntuk pasangan partikel proton.
Sebaliknya, jika ada seberkas sinar Gama
yang memiliki energi sebesar itu dilewatkan medan inti atom, maka tiba-tiba
sinar tersebut lenyap berubah menjadi dua buah pasangan partikel seperti di
atas. Hal ini menunjukan bahwa materi memang bisa berubah menjadi cahaya dengan
cara tertentu, yang disebut sebagai reaksi Annihilasi.
Nah, proses pengubahan materi menjadi
cahaya terjadi sesaat sebelum perjalanan Isra Mi’raj dimulai. Kejadian ini
ketika Rasul disucikan oleh Jibril di dekat sumur zam-zam. Bisa dikatakan jika
proses ini adalah proses operasi hati Muhammad dengan air zam-zam.
Kenapa operasi hati? Bukan otak atau
jantung misalnya? Ya, sebab hati adalah pangkal dari seluruh aktifitas badani.
Bahkan Rasul mengatakan bahwa hati adalah pangkal dari segala aktifitas badani.
Jika baik hatinya, maka baik pula seluruh aktifitas badannya. Begitu juga
sebaliknya jika buruk hatinya, maka buruk juga segala aktifitas badaniahnya.
Bahkan, resonansi dari hati yang baik
itulah kelembutan akan muncul. Bagaikan buluh perindu yang akan menghasilkan
suara merdu ketika ditiup. Kenapa? Karena hati yang lembut bagaikan sebuah
tabung resonansi yang bagus. Getarannya menghasilkan frekuensi yang semakin
lama semakin tinggi. Semakin lembut hati seseorang, semakin tinggi
frekuensinya. Pada frekuensi 10 pangkat 8, maka akan menghasilkan gelombang
radio. Dan jika frekuensinya lebih tinggi misal 10 pangkat 14, maka akan
menghasilkan gelombang cahaya (Mustofa, 2008:153).
Itulah agaknya yang terjadi pada diri
Rasulullah saat ‘dioperasi’ oleh malaikat Jibril di dekat sumur zam-zam. Jibril
melakukan manipulasi terhadap sistem energi menjadi badan cahaya. Dengan
kesiapan ini, Muhammad siap untukdibawa melalui kawalan Jibril dengan
mengendarai Buraq menembus batas langit hingga akhirnya berjumpa dengan Sang
Pemilik Cahaya Abadi.
Catatan ketiga, terdapat dalam kata ‘abdihi, Hamba-Nya. Hal ini
berarti bahwa tidak semua orang secara sembarangan mampu melakukan perjalanan
Isra Mi’raj. Perjalanan fantastis yang hanya bisa dilakukan oleh manusia yang
sudah mencapai tingkatan ‘abdihi,
hamba-Nya. Atau dalam istilah Quraish Shihab sebagai insan kamil.
Catatan keempat, dalam kata laila, malam hari. Perjalanan
spesial ini dilakukan pada malam hari dan bukan siang hari. Kenapa? Inilah dia
bukti kebesaran Tuhan Sang Maha Gagah itu. Ia mengendalikan perjalanana Isra
Mi’raj dengan apik dan sangat canggih. Apalagi alasan logis mengenai hal itu,
bahwa pada siang hari radiasi sinar matahari demikian kuatnya, sehingga bisa
membahayakan badan Nabi Muhammad yang sebenarnya memang bukan badan cahaya.
Badan nabi yang sesungguhnya tentu saja adalah materi. Perubahan menjadi badan
cahaya itu bersifat sementara saja, sesuai kebutuhan untuk melakukan perjalanan
bersama Jibril. Dengan melakukannya pada malam hari, maka Allah telah
menghindarkan Nabi dari interferensi gelombang yang bakal membahayakan
badannya. Suasana malam memberikan kondisi yang baik buat perjalanan itu
(Mustofa, 2006:25).
Sebagai gambaran sederhana, ketika di
malam hari kita menyalakan radio, maka gelombang yang kita tangkap akan jernih
dan lebih mudah dari siang hari. Sebab gelombang radio tersebut tidak mengalami
gangguan terlalu besar yang saling bersinggungan dengan gelombang lainnya.
Begitulah gambaran sederhananya, sebab waktu malam hari adalah waktu yang
paling kondusif untuk perjalanan super spesial demi kelancaran perjalanan ini.
Catatan kelima, terdapat dalam kata minal Masjidil haram ilal masjidil
Aqsha, dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha. Perjalanan ini dimulai dari
mesjid ke mesjid, sebab mesjid adalah bangunan yang memiliki energi positif.
Disanalah orang-orang berusaha untuk menyucikan diri, mendekat, bahkan merapat
kepada Tuhannya. Masing-masing mesjid tersebut ibarat tabung energi positif
bagi perjalanan Nabi.
Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha
dijadikan sebagai terminal pemberangkatan dan kedatangan. Hal ini mirip dengan
tabung transmitter dan recieveri, yang dipergunakan dalam proses
perubahan badan Nabi Muhammad dari materi menjadi cahaya jauh lebih mudah.
Apalagi proses itu melalui ‘operasi’ lewat pelantara Jibril yang memang makhluk
cahaya. Maka semuanya berjalan dengan lancar sesuai kehendak Allah. Dia-lah
yang berkehendak, sedang Jibril yang melaksanakannya (Mustofa, 2006:28).
Catatan keenam, yakni dalam kata baaraknaa haulahu,
Kami berkahi sekelilingnya. Perjalanan ini adalah perjalanan yang tak lazim.
Oleh karena itu Allah mempersiapkan semua fasilitas dengan keberkahan untuk
menjaga kelancaran perjalanan sekali dalam sepanjang sejarah manusia.
Nah, disinilah pentingnya Allah menjaga
lingkungan sekitar perjalanan Isra Mi’raj agar tidak terjadi hal-hal yang
merusak. Sebab, jika badan Rasul tiba-tiba berubah menjadi ‘badan materi’ lagi
saat melakukan perjalanan berkecepatan tinggi itu, maka badannya bisa terurai
menjadi partikel-partikel kecil sub atomik, tidak beraturan lagi. Untuk itulah,
keberkahan itu selalu ada; di setiap tempat di setiap keadaan, bahkan tak
mengenal tempat, waktu, dan keadaan sekalipun.
Catatan ketujuh, terdapat dalam kata linuriyahu min ayaayaatina, tanda-tanda kebesaran Allah. Ya, tepat
sekali Isra Mi’raj adalah salah satu tanda kebesaran Allah yang Maha Hebat.
Dalam perjalanan itu Rasul menyaksikan pemandangan yang tidak pernah beliau saksikan
sebelumnya. Terutama ketika melintasi dimensi-dimensi langit yang lebih tinggi
pada saat Mi’raj ke langit ke tujuh. Tanda kebesaran dan keagungan Allah ini
terhampar di jagat raya. Dan dengan tanda-tanda itu, seseorang mukmin bisa
melakukan ‘dzikir sekaligus pikir’ sehingga menghasilkan kedekatan diri kepada
Allah Azza wa Jalla.
Dan kata kunci yang terakhir adalah innahu huwas samii’ul bashir, sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi
Maha Melihat. Ini adalah proses penegasan informasi kalimat sebelumnya. Dengan
adanya kalimat ini, seakan-akan Alalh ingin memberikan jaminan kepada kita
bahwa apa yang telah Dia ceritakan dalam ayat ini adalah benar adanya. Kenapa?
Karena berita ini datang dari Allah, Tuhan yang Maha Mendengar lagi Maha
Melihat. Maka tak perlu ada keraguan tentang kisah fenomenal ini (Mustofa,
2006:41).
Epilog
Hadirin jamaah Jumat RK :
Hadirin jamaah Jumat RK :
Begitu dahsyat peristiwa Isra Mi’raj
hingga meninggalkan kesan mendalam untuk seluruh umat manusia hingga kini.
Namun, dari tafsiran yang telah dipaparkan di atas, sekira dengan obat sebagai
penawar penyakit, begitu pun hikmah perjalanan ini sebagai ikhtiar pembangun
jiwa-jiwa yang sedang kebingungan, atau malah ‘mati’ dalam kebingungan.
Siapa pun ia jika mengira akal adalah
Tuhan yang patut disembah, sains adalah Maha Guru tertinggi yang patut dipuji,
maka ia bagai berada dalam dimensi yang terus memenjaranya untuk tidak
menemukan kebenaran hakiki. Sebab, Kant pernah berkata (dalam avant propos
Capra, 2000:xxii), bahwa ia secara meyakinkan dan sudah membuktikan jika nalar
teoritis sama sekali tak mampu menangkap kebenaran metafisika. Dengan kata
lain, sains tak bisa membuktikan Tuhan ada, juga tidak bisa membuktikan Tuhan
tidak ada. Dengan ini, Kant sebenarnya hendak membatasi ekspansi sains,
menyisakan ruang bagi iman.
Banyak tafsiran yang diutarakan para ulama
terkait berita kontroversial ini. Namun, perlu menjadi catatan bahwa terlepas
dari semua tafsiran: aqidah, sains, bahkan tasawuf sekalipun, ia ‘menggenjot’
penyemangat jiwa. Sebab Muhammad mampu ‘berlari’ menjadi hamba yang Insan Kamil untuk melesat menuju Tuhannya.
Ia membuka diri untuk disesuaikan dan direkonstruksi demi menyempurnakan
panggilan spesial Tuhannya.
Bukan saja Muhammad yang bisa ‘berlari
menuju Tuhannya. Anda, saudara, dan kita semua bisa ‘berlari’ mengejar hakikat
kecintaan kepada Tuhan. Hidup terlalu singkat untuk diisi dengan pergi menuju
tuhan dengan cara berjalan lanjut Kang Jalal (2008:69). Kita harus ‘berlari’
sebelum waktu kita di dunia habis dan berakhir. ‘Berlari’ dari segala yang
menarik perhatian kita, menuju kepada yang satu, Allah. Sebab, “Barangsiapa
yang mendekati Allah sesiku, Dia akan mendekatinya sehasta. Barangsiapa
mendekati Allah sambil berjalan, Dia akan menyambutnya sambil berlari” (HR.
Ahmad dan Thabrani). Jika begitu, bagaimana jika kita menuju-Nya dengan
‘berlari’, seberapa dekatkah Ia kepada hamba-Nya.
Kenyataan ini menuntun kita pada adanya
evolusi dari hal yang sifatnya material menuju hal yang immaterial. Membimbing
kita untuk Mi’raj atau pendakian menuju tahap demi tahap hingga sampai ke
hakikat kecintaan kepada-Nya. Keberadaan hierarki dan proses pendakiannya yang
merupakan ajaran tarekat yang dicontohkan Plotinus sebagai tokoh madzhab
neoplatonisme (Purwanto, 2008:383). Menurutnya semua berasal dari Yang Satu
atau to Hen dan semuanya berhasrat untuk kembali kepada Yang Satu. Manusia
dapat melaksanakan pengembalian kepada Yang Satu dengan upaya menempuh tahap
demi tahap, hingga akhirnya mampu ‘berlari’ menembus penyatuan dengan Yang
Satu, atau dalam istilah Plotinus disebut ekstasis.
Overall, maka bersegeralah ‘berlari’ untuk Mi’raj
menuju Tuhan. Sebab Ia telah berfirman: “Oleh karena itu, bersegeralah berlari
kembali menuju Allah” (QS.Aldzariyat:50).
Mi’raj untuk menembus batas-batas kekotoran sifat manusia, menjemput Cahaya
Ke-Tuhanan yang hanya diberikan bagi mereka yang spesial. Mereka yang berhasil
menjadi pengikut Muhammad yang tidah hanya mengagumi dalam decak kagum tanpa
penghayatan, tetapi penghayatan dalam pengamalan yang ikhlas.
Perjalanan yang ditempuh dari pecinta
menuju yang dicintainya, hingga keadaan ini berada dalam vakum penyatuan.
Cerminan penyatuan itu tertuang dalam sebuah hadits qudsi: “Tidak
henti-hentinya hamba-hamba-Ku mendekatkan diri kepada–Ku dengan melakukan
ibadah-ibadah nawafil, hingga Aku mencintainya. Kalau Aku telah mencintainya,
Aku akan menjadi telinganya yang dengannya ia mendengar; Aku akan menjadi
matanya yang dengannya ia melihat; Aku akan menjadi tangannya yang dengannya ia
memegang; Aku akan menjadi kakinya yang dengannya ia berjalan. Jika ia bermohon
kepada-Ku, Aku akan mengabulkan permohonannya. Jika ia berlindung kepada-Ku,
Aku akan melindungi dirinya” (HR. Bukhari).
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي
الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ
وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ، وَتَقَبَلَّ اللهُ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ،
إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ
اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ
وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ. فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ
الرَّحِيْمُ.
Komentar
Posting Komentar